Home Berita Pernyataan Sikap Ketua Alumni PRD Agar Prabowo-Gibran Usut Tuntas Pelanggaran HAM 1998

Pernyataan Sikap Ketua Alumni PRD Agar Prabowo-Gibran Usut Tuntas Pelanggaran HAM 1998

28
0

Magelang, peloporkrimsus.com – Dalam pers rilis penyataan sikap Nano Petrus Widyanto yang disampaikan oleh juru bicara Iwan Pentol 28 tahun berlalu sejak krisis ekonomi-politik 1997 dan Tragedi 1998, namun negara dan rezim yang berkuasa tidak pernah menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis pro-demokrasi serta perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa sengaja dibiarkan dan tidak pernah diukap, dari rezim H@bibie,Gusdur,Megawat, SBY,J*kowi,Pr@bowo
Peristiwa 98 banyak ibu kehilangan anak, adik yang kehilangan kakak, anak yang kehilangan orang tua, dan keluarga yang kehilangan sanak saudara, harta benda, serta masa depan. Namun, alih-alih mendapat keadilan, mereka justru distigmakan sebagai pelaku “kerusuhan”, penjarah, dan pelaku kekacauan lainnya dalam peristiwa Mei 1998.

Faktanya, mereka adalah korban dari kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang dirancang secara sistematis oleh rezim fasis totaliter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Kejahatan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif. Selama lebih dari 32 tahun kekuasaannya, Orde Baru tidak memberi ruang bagi demokrasi. Semua kritik dibungkam. Setiap perlawanan dilenyapkan.

Rakyat yang melawan dihadapkan pada moncong senjata. Penindasan merajalela, kemiskinan menyebar, dan kebodohan dipelihara.

Hasil Penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas peristiwa Mei 1998, serta Tim Ad Hoc yang dibentuk oleh Komnas HAM, membuktikan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa tersebut. Tim TGPF dibentuk atas perintah Presiden B.J. Habibie melalui surat keputusan para menteri, dan Tim Ad Hoc dibentuk oleh Komnas HAM, yang memiliki wewenang berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM jo. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Namun hingga kini, meski rezim terus berganti, pengusutan tuntas dan keadilan bagi para korban dan keluarganya tetap gelap. Janji-janji terus dilontarkan, tetapi penyelesaian tidak kunjung terwujud. Kasus-kasus ini terus dibiarkan.

Kini, kekuasaan Prabowo-Gibran berusaha menghapus sejarah kelam ini. Korban penculikan dan penghilangan paksa . Korban perkosaan massal perempuan etnis Tionghoa malah mengalami diskriminasi di bawah rezim ini. Upaya busuk Menteri Fadli Zon dan kroninya terindikasi sebagai langkah sistematis menghapus catatan kejahatan rezim Orde Baru dari sejarah nasional.
Beberapa aktivis pro-demokrasi yang diculik dan belum kembali hingga hari ini antara lain:

Petrus Bima Anugrah (PRD)
Herman Hendrawan (PRD)
Suyat (PRD)
Wiji Thukul (PRD)
Leonardus Gilang Nugraha (PRD)
Sementara beberapa aktivis non-PRD dan individu yang dicurigai sebagai aktivis yang juga menjadi korban

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madani, mencatat sekitar 168 korban dalam peristiwa perkosaan massal pada tragedi Mei 1998.

Diamnya Rezim, Bungkamnya Keadilan

Kekuasaan Prabowo-Gibran hari ini tidak menunjukkan kemauan politik dan konstitusional untuk menyelesaikan pengusutan kasus penculikan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa. Ironisnya, Prabowo—yang disebut terlibat dalam peristiwa 1997–1998—justru berlindung di balik dukungan dari para aktivis yang dulu diculiknya. Ini adalah upaya untuk menghapus tragedi dari ingatan publik.

Pemerintah berganti, tetapi kebenaran tidak pernah diungkap. Pelaku pelanggaran HAM tidak diadili, korban dan keluarganya dibiarkan menanggung trauma tanpa penyelesaian. Bahkan beberapa korban penculikan kini justru diberi jabatan dalam kabinet Presiden Prabowo—sebagai Wakil Menteri atau Kepala Badan.

Kami yang tergabung dalam Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik Sulsel, menyatakan:

Tuntutan Kami:

Membuka kembali penyelidikan dan penyidikan secara independen dan transparan atas kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis pro-demokrasi, serta penyidikan atas kekerasan seksual, termasuk mengusut keterlibatan aktor militer dan sipil yang selama ini mendapat perlindungan kekuasaan (impunitas). Salah satu bukti kuat adalah operasi dan eksekusi oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus TNI-AD.
Merealisasikan seluruh rekomendasi Komnas HAM dan TGPF, baik hasil penyelidikan awal maupun lanjutan, sebagai dasar penegakan hukum dan keadilan.
Mendorong pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, guna mengadili kejahatan HAM berat dan menjamin keadilan transisional bagi korban dan keluarganya.
Menjamin hak atas pemulihan yang layak dan bermartabat bagi para penyintas kekerasan seksual dan keluarga korban penghilangan paksa, termasuk restitusi, rehabilitasi psikososial, dan pengakuan resmi dari negara.
Mendesak agar negara tidak mengulangi praktik kekuasaan represif, termasuk penggunaan kekuatan militer dan kebijakan anti-demokrasi di era Reformasi saat ini maupun di masa depan.

Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik kab Magelang Jawa Tengah Ungka Iwan Pentol (her)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here