Tanah Bumbu, peloporkrimsus.com –
Di tepi dermaga Sungai Cuka, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, aktivitas sederhana para nelayan menjadi pemandangan rutin setiap pagi. Tumpukan daun kelapa, ranting, dan batang pohon nipah tampak tersusun di atas perahu kayu. Di bawah terik matahari, dua nelayan menyiapkan bahan-bahan itu dengan penuh kesabaran.
“Ini nanti diturunkan di tengah laut, jadi tempat ikan berkumpul,” ujar Basuki, nelayan berusia 58 tahun yang sudah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Ia menjelaskan, bahan-bahan alami tersebut akan diikat rapat dan dijangkar di dasar laut. Cara ini dikenal dengan sebutan rumpun ikan atau rumpon tradisional, yang berfungsi sebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak.

Tradisi membuat rumpun ikan telah diwariskan turun-temurun oleh nelayan Sungai Cuka. Bagi mereka, cara ini bukan sekadar strategi mencari ikan, tetapi juga bentuk nyata kepedulian terhadap kelestarian ekosistem laut.
“Kalau daun dan rantingnya mulai membusuk, ikan datang sendiri,” tutur Basuki sambil tersenyum. “Kami tidak pakai bahan berbahaya. Semua alami, supaya laut tetap sehat.”
Namun, di balik upaya menjaga laut, para nelayan menghadapi tantangan besar. Dalam beberapa bulan terakhir, rumpun ikan yang telah dijangkar dengan susah payah sering hilang terseret pukat kapal luar—kapal besar yang masuk hingga ke perairan tempat mereka mencari nafkah.
“Sudah dijangkar kuat, tapi tetap hilang kalau kena pukat,” keluh Basuki. “Kapal besar itu kadang lewat malam, kami tidak bisa berbuat banyak.”
Kondisi tersebut membuat para nelayan kecil di Sungai Cuka merasa semakin terdesak. Dengan peralatan sederhana dan kapal berukuran kecil, mereka hanya mampu memancing di sekitar perairan dangkal. Meski begitu, semangat menjaga laut tetap mereka pegang teguh.
“Kami tidak pakai pukat, cuma pancing saja,” kata Lashby, nelayan muda yang ikut membantu Basuki mengikat pelepah kelapa. “Biar laut tetap bersih, ikannya tidak habis.”
Sekitar 60 nelayan kecil di kawasan Sungai Cuka bergantung pada metode tradisional ini. Mereka sadar bahwa laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga warisan bagi generasi mendatang.
“Kalau rumpunnya hilang, ya kami buat lagi,” ujar Basuki dengan nada pasrah namun tegar. “Namanya juga hidup di laut, harus sabar. Yang penting laut tetap dijaga.”
Meski dihadapkan pada kerugian dan ketidakpastian, semangat para nelayan Sungai Cuka menjadi cerminan keteguhan masyarakat pesisir dalam menjaga alam. Di tengah derasnya arus modernisasi dan eksploitasi laut yang kian tak terkendali, mereka memilih tetap berpegang pada kearifan lokal ,menjaga laut, menjaga kehidupan.”(Tim)



