SEMARANG, peloporkrimsus.com –Kebebasan pers di Indonesia kembali diuji. Seorang wartawan media online di Kota Semarang, Jawa Tengah, diduga menjadi korban penyekapan dan kekerasan fisik oleh oknum yang diduga terkait dengan sebuah perusahaan swasta. Insiden ini sontak mengguncang dunia jurnalistik dan memicu kemarahan komunitas pers.
Peristiwa tersebut dinilai bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan ancaman nyata terhadap kemerdekaan pers yang dijamin konstitusi. Jika dugaan ini terbukti, maka tindakan tersebut merupakan bentuk pembungkaman jurnalis yang berpotensi mencederai demokrasi.

Ketua Persatuan Wartawan Online Independen Nasional (PWOIN) Kota Semarang, Vio Sari, angkat suara dengan nada tegas. Ia mengecam keras dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap wartawan berinisial A, yang disebut terjadi saat korban menjalankan tugas jurnalistik.
“Ini tindakan brutal dan tidak bisa ditoleransi. Kekerasan terhadap jurnalis adalah upaya membungkam pers. Ini bukan persoalan individu, ini serangan langsung terhadap demokrasi dan hak publik atas informasi,” tegas Vio Sari, Sabtu (13/12/2025).
Vio menegaskan, kasus ini diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:
Pasal 4 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan pers,
Pasal 4 ayat (3) yang menegaskan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi,
serta Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Selain itu, dugaan penyekapan dan penganiayaan juga berpotensi melanggar ketentuan pidana dalam KUHP, sehingga penanganan hukum dinilai harus dilakukan secara serius dan menyeluruh.
PWOIN Kota Semarang mendesak aparat kepolisian agar tidak lamban dan tidak ragu dalam menegakkan hukum.
“Kami mendesak polisi bertindak cepat, transparan, dan profesional. Jangan sampai ada kesan pembiaran atau perlindungan terhadap pelaku. Kekerasan terhadap jurnalis adalah kejahatan serius yang harus diusut sampai tuntas,” ujar Vio yang akrab disapa Bunda Vio.
Ia menegaskan, organisasi yang dipimpinnya tidak akan tinggal diam. PWOIN memastikan akan mengawal proses hukum hingga tuntas sebagai bentuk solidaritas terhadap korban sekaligus upaya mencegah terulangnya kekerasan terhadap jurnalis di masa mendatang.
Lebih jauh, Vio mengingatkan bahwa kebebasan pers bukanlah hak istimewa wartawan semata, melainkan hak masyarakat luas.
“Ketika jurnalis dibungkam dengan kekerasan, yang dirampas bukan hanya kebebasan pers, tetapi juga hak publik untuk tahu. Pers adalah mata dan telinga rakyat. Jika pers takut, demokrasi ikut lumpuh,” tegasnya.
Dalam pernyataannya, Vio juga menyoroti dugaan lambannya respons aparat kepolisian dalam menerima dan menindaklanjuti laporan korban. Ia menilai hal tersebut menunjukkan masih lemahnya pemahaman sebagian aparat terhadap mandat perlindungan pers sebagaimana diatur undang-undang.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi terkait perkembangan penanganan kasus tersebut. Publik kini menanti: apakah negara benar-benar hadir melindungi kebebasan pers, atau justru membiarkan jurnalis terus bekerja dalam bayang-bayang ancaman?(Syamsul Anam /Team)



