Tebo.(Jambi). peloporkrimsus.com – Badan Penyelidik Nasional Ombusman Muda Indonesia ICC ( BPN OMIICC) Provinsi Jambi, kawal ketat penggunaan Dana Desa, hal ini diungkapkan Hamdi Zakaria, A.Md, Waka Korwil BPN OMIICC Propisi Jambi, saat memberikan pemaparannya di depan seluruh anggota gabungan tadi pagi (28/11/2023).
Menurut Hamdi Zakaria dalam pemaparannya, Korupsi sudah merambah pengelolaan dana Desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.
Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa. Untuk itu, tugas kita sebagai sosial kontrol agar lebih diperketat, jika ada temuan dan dugaan, segera kita laporkan, ungkap Hamdi.
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.
Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa semestinya bisa segera terwujud. Di tahun 2023 lebih kepada peningkatan perekonomian masyarakat, dan penekanan angka kemiskinan.
Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan dugaan korupsi. Papar Hamdi.
Menurut Hamdi Zakaria, sisi modus korupsi dana Desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti,
mark up proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif dan pemotongan anggaran.
Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.
Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran. Hal ini sudah beberapa kasus yang kita temui di lapangan dan bakal kita laporkan usai LHP dari Inspektorat keluar nanti, kata Hamdi.
Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif, misalnya ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit
dibandingkan dalam laporan pertanggung jawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.
Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar.
Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, mark up, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.
Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.
Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa.
Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun diduga turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.
Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.
Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.
Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya, semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.
Penguatan pendampingan
Langkah strategis sebenarnya mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa.
Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal, kata Hamdi.
Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah, hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.
Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak, atau juga ada dugaan Kong kali Kong.
Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.
Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK dan semacamnya untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud.
Saya ingatkan kepada seluruh anggota, temuan temuan ditahun 2023 dan sebelumya, susun laporan dugaannya, bakal kita laporkan di bulan April 2024 mendatang, karena dugaan LHP dari Inspektorat sudah turun, tutup Hamdi Zakaria, A.Md mengakhiri Pemaparanya. (Sch).