Jambi, peloporkrimsus.com – Ketua Umum Dewan PimpinanPusat Tim Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TMPLHK) Indonesia Hamdi Zakaria, A.Md yang notabene juga sebagai Kaperwil media Patroli86.com Provinsi Jambi, dalam meeting gabungan anggotanya pada 8/6/2024 mengingatkan bagi PKS Pelaku pencemaran lingkungan, terkait sanksi administratif.
Menurut Hamdi Zakaria, Adapun dalam lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (“PPLH”), yang dimaksud dengan sanksi administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang PPLH serta perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.
Sanksi administratif dianggap sebagai sarana hukum publik berupa penjatuhan beban oleh pemerintah kepada rakyatnya sebagai respons atas ketidaktaatan terhadap kewajiban yang muncul dari peraturan perundang-undangan, ungkap Hamdi.
Menurut Hamdi, sanksi Paksaan pemerintahan (bestuursdwang);
Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi):
Denda administrasi;
Uang paksa (dwangsom).
Paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata (feitelijk handeling) oleh penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau bila masih melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan karena bertentangan dengan undang-undang.
Paksaan pemerintah merupakan contoh dari sanksi reparatoir, yakni sanksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan kondisi hukum. Dengan kata lain, mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Kata Hamdi Zakaria.
Hamdi katakan lagi, Definisi paksaan pemerintah juga dapat dijumpai dalam Lampiran Permen LH 2/2013 (hal. 4), yang mendefinisikan paksaan pemerintah sebagai sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam keadaan semula.
Terhadap konsepsi paksaan pemerintah yang diberikan tersebut, Andri Gunawan Wibisana dalam artikel berjudul Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia berpendapat bahwasannya UU PPLH dan Permen LH 2/2013 keliru dalam memahami paksaan pemerintah.
Dalam hal ini, paksaan pemerintah diartikan semata-mata sebagai sebuah tindakan hukum (rechtelijk handelen), tanpa disertai dengan adanya tindakan nyata (feitelijk handelen).
Paksaan pemerintah sebagai salah satu bentuk sanksi administratif salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 508 ayat (1) PP 22/2021 yang merupakan peraturan pelaksana UU PPLH yang berbunyi:
teguran tertulis;
paksaan pemerintah:
denda administratif;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Sebagai informasi tambahan, sanksi administratif berupa paksaan pemerintah ini sebelumnya diatur dalam Pasal 76 UU PPLH. Namun, bunyi Pasal 76 UU PPLH diubah oleh Pasal 22 angka 28 UU Cipta Kerja dan kini aturan mengenai paksaan pemerintah diatur lebih spesifik dalam PP 22/2021.
Jadi menurut Hamdi, jika ditinjau dari segi historisnya, pengaturan mengenai paksaan pemerintah sebagai salah satu bentuk sanksi administratif bagi pelanggar dalam lingkup PPLH bukanlah hal yang baru.
Oleh karena itu, untuk mempersempit lingkup pembahasan ini, kami akan mengulas mengenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintah dalam lingkup PPLH sebagaimana diatur dalam PP 22/2022.
Penerapan Sanksi Paksaan Pemerintah dalam Lingkup PPLH diterapkan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan perintah dalam teguran tertulis dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Pada prinsipnya, paksaan pemerintah harus didahului oleh teguran tertulis. Namun, pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran tertulis apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya; dan/atau
Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya.
Paksaan pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk:
Penghentian sementara kegiatan produksi;
Pemindahan sarana produksi;
Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
Pembongkaran;
Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
Penghentian sementara sebagian atau seluruh usaha dan/atau kegiatan;
Kewajiban menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH); dan/atau
Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup, tutup Hamdi Zakaria, A.Md mengakhiri meeting anggota nya. (Tim)