Bima, PH-Krimsus : Segelas kopi menjadi terasa semakin pahit. Teh hangat yang menyuguhkan kehangatan pagi semakin mendidih ketika saya memperhatikan terus fenomena yang menyudutkan kelompok agama saling bertengkar satu sama lain. Fenomena beragama telah berupa menjadi hal yang dipertontonkan.
Muhsin SH yang biasa di sapa Danambari Jambo, Demisioner BEM STIH Muhamadiyah Bima mengatakan “Yang dulu sangat eksklusif kini hadir sangat nampak di media sosial. Informasi yang terus berkembang telah membalut iklim baru menjadi masyarakat yang gampang mudah tersulut emosi. Yah, kita yakini bahwa agama sangat rentan dibicarakan, karna hal ini mencangkup keyakinan” tutur Muhksin.
“Ketika ketidakpahaman dengan kelompok lain biasanya kita cendrung tidak obyektif dalam bersikap. Namun anehnya, justru terlalu banyak sikap ketidakbijaksanaan dan kedewasaan di masyarakat kita. Ya, justru yang paling bahaya ialah bahwa warga nitizen telah meratapi kepada nadir kemerostan ilmu” Ungkapnya.
Yang hadir dan tampak hari ini adalah kejumudan etika yang bermuara pada pertengkaran dan semakin banyaknya orang berbondong bondong kepada taqlid buta dalam beragama. Pertengkaran dan perbedaan pendapat dalam beragama bukan lah bentuk baru yang hari ini sangat krusial dibicarakan.
Ini merupakan rekam jejak lama yang hanya dalam balutan yang berbeda, perbedaanya terlihat pada akses yang semakin mudah kita dapati, “Saya berani mengatakan bahwa kegaduhan dan keriwetan yang terjadi hari ini adalah bagi kita yang sibuk menganut idiologi andoroidisme, sebuah banyolan yang memiliki esensi cukup memuaskan”
Lihatlah bagaimana faham Mu’azilah, Jabariah serta faham Sunni dan Syiah sudah sangat larut dalam sejarah panjangnya. Dan kini hal tersebut muncul kembali bagai mengulang sejarah yang terpendam dan kemudian muncul dalam bentuk masyrakat milenial dalam atmosfir yang baru.
Lanjut Muhsin SH, “Kita meyakini bahwa perbedaan tersebut merupakan sunnatullah yang perlu kita fahami bersama. Jika tak ada perbedaan mungkin saja Tuhan tak memberikan peran akal untuk memilih milih mana yang baik dan kepandaian bersikap, anggap saja hal ini sebagai cara tuhan mengaktifkan sel sel otak kita agar mau berfikir agar tak menganggur” Ungkap Muhsin Alias Danambari Jambo.
“Dalam diskusi kecil kecilan saya pernah memperdebatkan masalah seseungguhnya untuk apa ilmu itu dipelajari, toh semakin banyak saja ilmu yang semakin tinggi justru lebih pandai menghardik dan membohongi orang kecil yang tertindas, masalahnya bukan pada ilmunya, tapi karna mungkin saja kita tak mampu mengkonspsi ilmu sebagai modal kearifan serta umat kita belum pandai mengkonsepsi ilmu agama” Jelasnya.
Apa karena ilmu yang kita fahami sebatas harapan untuk tujuan yang hanya sebatas impian kecil? sebagai modal investasi kekyaan dan iming-imingan momongan pekerjaan. Tak jarang sudut pandang kerdil ini mengakibatkan pola fikir yang terkonsepsi adalah bentuk sekularisasi dalam mempelajari ilmu agama.
berkaitan dengan hal ini pemisahan antar ilmu agama dan non agama adalah hal yang berlawanan. Jika hal ini terus terjadi kita akan dibalut rasa kekosongan nilai spiritual yang memisahkan agama sebagai ahlak prilaku, dan ilmu lain sebatas pemuas keduniaan.
Mungkin umat muslim sudah lupa bahwa segala teknologi informasi yang sedang asik diperdebatkan adalah hasil tangan kreatif umat islam yang kemudian terkonsepsi sebagai pemilik mutlak ilmuan barat, sehingga hal ikhwal perdebatan ini sebagai bungkusan baru yang berkutik pada konsepsi keimanan dan ritual ibadah belaka.
Dan lupa bahwa Ibnu sina, Al farabi sampai Imam Al- Ghozali telah melahirkan peraadaban baru ditengah kejayaan islam yang saat itu Barat sedang sibuk mempelajari tanda tangan. Yang kemudian muncul pertanyaan, mengapa Umat islam dahulu melahirkan karya karya fenomeal.
Jawabanya mungkin dua, “Memahami ilmu agama secara universal yang tidak memisahkan agama dan ilmu pengetahuan serta agama menjadi consensus cara diri untuk menguak keesaan Tuhan sebagai cara pendekatan diri kepadaNya. Bukan hanya sibuk memperdebatkan hal yang fulgar” tutupnya. (MUCH).