Home Berita ICWI Mataram Angkat Bicara Soal Pengadaan Obat 3,6 Milyar di Dinas Kesehatan...

ICWI Mataram Angkat Bicara Soal Pengadaan Obat 3,6 Milyar di Dinas Kesehatan Kabupaten Bima

466
0

Mataram, Peloporkrimsus.com – Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) atau yang kita kenal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Kalau menurut UU No.20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan Negara atau perekonomian Negara. Sementara wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara Negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraaan pemerintahan. Sedangkan penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggara an pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, dan/atau bertindak sewenag-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan pasal 18 Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintah.

Berangkat dari definisi diatas bahwa IFK (Instalasi Farmasi Kabupaten) memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian tugas dinas kesehatan dibidang instalasi farmasi. Sementara fungsinya adalah :

1. Penerimaan, pengelolaan, penyimpanan dan pendistribusian, obat, alat kesehatan dan perbekalan farmasi.

2. penyiapan, penyusunan rencana pencatatan dan pelaporan tentang penyediaan dan penggunaan obat, alat kesehatan dan perbekalan farmasi.

3. pelaksanaan tata usaha, keuangan, kepagawaian, perlengkapan dan rumah tangga.

Sehingga didalam didalam definisnya IFK (instalasi Farmasi Kabupaten) merupakan UPT (Unit Pelaksana Tekhnis) dinas kesehatan kabupaten bima yang bertugas mengelola obat, diantaranya melakukan perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan, pemantauan, dan evaluasi obat yang diperlukan untuk layanan kesehatan di puskesmas. IFK dalam melaksanakan tugasnya dan tanggung jawabnya melayani sebanyak 18 lebih puskesmas dan jaringannya sekabupaten Bima sesuai dengan definisi yang dimaksud diatas. Sehingga proses perencanaan pengadaan obat-obatan melalui e-phurchasing atau e-Katalog senilai 3,6 miliar rupiah yang dirancang oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bima selaku Satuan Kerja (Satker) KPA bersama PA (Bupati Bima) dan PPK melalui SPSE ULP Kabupaten Bima adalah suatu pengadaan yang sudah formal kalau ditinjau secara nomatif. Akan tetapi PA (Bupati Bima), KPA (Kasatker/Dinas kesehatan Kab. Bima), dan PPK telah lupa terkait keberadaan IFK (Instalasi Farmasi Kabupaten) yang memiliki peran penting terhadap proses pengusulan perencanaan. Seharusnya dasar pengusulan perencanaan pengadaan obat-obatan senilai 3,6 miliar harusnya dimulai dari usulan oleh IFK sebagai penampung aspirasi seluruh 18 lebih puskesmas dan jaringannya sekabupaten bima selaku penanggung jawab penuh terkait kefarmasian dan lain-lain. Sebab, tanpa melibatkan IFK berarti para pihak telah menyalahi peraturan no. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian sebagaimana dikatakan dalam pasal 5 ; poin a,b,c, dan d dan pasal 98 ayat 1, 2, dan 3 seterusnya pasal 108 UU yang sama ayat 1, dikatakan,” praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisonal harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanga-undangan, serta menyalahi tugas pokok IFK sesuai kewenangannya.

Bagimanapun didalam pasal dan pasal 4 perpres 61/2018 tentang pengadaan barang dan jasa pasal 1 dikatakan “pengadaan barang dan jasa bertujuan menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas” dan 18 ayat 1 terkait perencanaan dikatakan “perencanaan pengadaan meliputi identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara, jadwal dan anggaran pengadaan barang dan jasa”. Artinya tepat secara kualitas mempunyai arti bahwa obat-obatan yang didapat mempunyai spesifikasi karakteristik dan kinerja sesuai dengan kebutuhan Dan keinginan penggunaanya. Misalnya secara fungsi benar-benar memberi manfaat sesuai kebutuhan oleh pengguna. Tepat dari aspek jumlah menggambarkan bahwa volume pengadaan benar-benar sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah direncanakan. Volume kurang dari kebutuhan tentu akan mempengaruhi kinerja pencapaian proses. Sedangkan volume lebih dari yang diperlukan tentu tidak efektif bahkan dalam kondisi tertentu akan mengganggu kinerja pencapaian tujuan.

Dapat disimpulakan bahwa proses perencanaan pengadaan obat-obatan oleh dinas kesehatan kabupaten bima senilai 3,6 miliar rupiah tidak berdasarkan peraturan dan perundang undangan sebagaimana tercantum diatas, atau perencanaan pengadaan obat-obatan 3,6 miliar diduga syarat dengan persekongkolan secara berjemaah, diduga bupati bima, kepala dinas kesehatan kabupaten bima, PPK, ULP dan PPHPBJ menyalahgunakan wewenang dan jabatan secara bersama-sama. Indikasinya adalah tidak dilakukan pengusulan perencanaan pengadaan obat-obatan sesuai procedure yaitu melakukan pengadaan secara sepihak tanpa melibatkan IFK(Instalasi Farmasi Kabupaten) yang berwenang sesuai kapasitas dan kapabilitas struktur kelembagaan. Menariknya lagi terkait fakta pengakuan saudari YUNI selaku kepala IFK (Instalasi Farmasi Kabupaten) Bima“ saya tidak pernah mengusulkan apalagi merencanakan terkait dengan pengadaan obat-obatan sebesar 3,6 meliar tersebut, tiba-tiba aja disuruh menandatangani penerimaan barang” (bac. metromini). Maka pernyataan inilah sebagai petunjuk pihak APH didalam melakukan penyelidikan untuk membongkar sejauh mana fakta kebenarannya. Apakah memang pengadaan tersebut sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang ada ataukah telah terjadi pengadaan fiktif yang tidak berdasarkan fakta usulan IFK yang memiliki tanggung jawab dan wewenang secara administrasi. Meski hari ini saudari Yuni telah diganti beberapa hari yang lalu bukan berarti pihak APH tidak menelusuri atas petunjuk itu. Hanya saja apakah berani kepala IFK yang baru mengambil tindakan dengan menghilangkan petunjuk dan barang bukti lain yang dianggap perlu ?? Wallahualam.

Jika benar adanya indikasi bahwa benar adanya keterlibatan bupati sebagai PA, Kadis sebagai KPA, PPK, ULP dan PPHP sebagai para pihak pengkonsolidasi pengadaan barang dan jasa maka akan dikenai sanksi sanksi pidana sesuai pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,” setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/alat keseahtan yang tidak ememnuhi standard an/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaiaman dimaksud dalam pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak rp. 1.000.000.000.00(satu miliar rupiah) dan sanksi pidana dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tah un 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 2 dikatakan,“ setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20(dua pulu) tahun dan denda paling sedikit rp.200.000.000 dan paling banyak Rp. 1000.000.000 dan pasal 3 dikatakan,” setiap orang yang dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau suatu koorporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 20(dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000.00(satu miliar rupiah)”. (Rif)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here