Home Berita Air mata IDP Dan Kewarasan Publik

Air mata IDP Dan Kewarasan Publik

466
0

Bima, Peloporkrimsus.com – IDP berhasil menanam air mata tiga Tahun silam, rakyat pun iba menatapnya. Setelah IDP jadi air mata itu berubah warna menjadi bencana, berubah warna menjadi darah, berubah warna menjadi api, berubah warna menjadi kekeringan air berubah warna menjadi konflik birokrasi. Rentetan peristiwa yang terjadi memang tidaklah bijak untuk menghakimi IDP. Tetapi ia bermakna sebagai dasar introspeksi kepemimpinan.

Orang bijak berkata, “pemimpin yang baik secara langsung menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk semakin baik”. Fakta menunjukan hampir disemua Kecamatan aksi pemblokiran jalan terus terjadi. Itu juga cerminan adanya krisis dalam manajemen kepemimpinan. Tidak juga harus dikutuk air mata yang terlanjur basah, tetapi tidaklah salah bila kita menggelar tahalilan keprihatinan.

Tanggung jawab segala penyelesaian problem ada pada IDP selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan. Kendati pembagian tanggung jawab itu memerlukan distribusi dilevel birokrasi.

“Yang nampak justru birokrasi memamer angka keberhasilan capaian di atas meja kerja tapi hasilnya tidak meredam api kemarahan dan kegalauan diruang publik,”

Fenomena ini menggambarkan bahwa delegitimasi etik dan manajemen kepemimpinan sejatinya berakar dari dalam diri kepemimpinan.

Sadarkah kita ?? bahwa, kelas sosial bangsa Bima telah dipetakan dalam sebuah buku oleh Almarhum Ibu Maryam bahwa kalangan bangsawan dipetakan pada urutan kelas satu, pegawai rendahan serta Alim Ulama dipetakan pada kelas masyarakat lapisan kedua, selebihnya pada urutan ketiga dipetakan sebagai budak. Pemetaan semacam ini tertanam secara massif dalam pikiran geng Istana, sebuah fakta yang mengusik akal sehat dan memerlukan pembicaraan ulang agar narasi itu dapat diuji kembali diruang publik.

Membelah masyarakat dalam peta klaster sosial sudah tidak relevan dengan kehendak zaman kecuali kita rakyat Bima yang bukan garis langsung Istana rela dikonsolidir sebagai budak.

Apa itu Kewarasan Publik ??

Hujan tuntutan publik tentang keharusan pemerintah mengatensi perbaikan infrastruktur jalan adalah lambang kewarasan publik. Soal cara mengaktualisasi kewarasan dalam bentuk protes, dalam bentuk kritik, dalam bentuk aksi, hanya menjelaskan adanya pertumbuhan dinamika. Tidak perlu ada peluru nyasar yang menerjang anak di bawah umur tak bedosa, tidak perlu ada aktivis yang tertembus peluru bila pemerintah peka menangkap aspirasi publik. Masih sangat sopan rakyat mau membuka diri berdialog dgn kekuasaan ketika sebelumnya rakyat telah lebih dulu mendapatkan luka.

Ada yang IDP lakukan setelah sekian lama ditekan oleh publik seperti membangun Kantor Daerah, menyiapkan fasilitas transportasi antar jemput, menambah pembangunan Puskesmas, mendesain rencana pembangunan Masjid Raya diarea kantor baru Pemda, membuat rancangan peraturan Bupati tentang perpustakaan literasi Desa. Kita harus mengakui itu kendati dilakukan sebagai jawaban kebangkitan kewasaran publik. Padahal seyogyanya, Kepala Daerah yang seharusnya tumpuan basis membangun kewarasan, malah justeru sebaliknya.

Pemerintah atau siapapun tidak bisa lagi menghindari kebangkitan gerakan akal sehat. Sarana teknologi dan informasi menjadi pintu lain yang mengakses kesadaran masyarakat jauh lebih cepat dari kecepatan berfikir aparatur pemerintah. Pemerintah sedapat mungkin peka menangkap gejala agar bara kemarahan tidak terulang seperti yang pernah terjadi selama ini. Bima bukan tanah tanpa tuan, jangan biarkannya kering hanya karena kesibukan menebar pesona ditengah luka yang belum pemimpinnya sembuhkan. (Rif)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here